Untuk ilmu dunia, engkau lebih paham. Beda dengan ilmu agama, kita harus bertanya pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seringkali kita mendengar pertanyaan, mengapa harus dibeda-bedakan antara ilmu syar’i dengan ilmu dunia? Bukankah keduanya berasal dan bersumber dari ilmu Allah Ta’ala? Bukankah ilmu dunia juga penting dipelajari untuk kemaslahatan kaum muslimin? Demikian pula kita dapati sebagian orang yang menyampaikan dalil-dalil tentang keutamaan ilmu, baik dalil Al-Qur’an maupun As-Sunnah, namun untuk mendorong orang agar semangat belajar dan meraih ilmu dunia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lebih tahu tentang ilmu dunia dibandingkan para shahabatnya.
Di antara buktinya adalah hadits dari Anas tentang mengawinkan kurma. Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sahabatnya yang sedang mengawinkan kurma. Lalu beliau bertanya, “Apa ini?” Para sahabat menjawab, “Dengan begini, kurma jadi baik, wahai Rasulullah!” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,
لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ
“Seandainya kalian tidak melakukan seperti itu pun, niscaya kurma itu tetaplah bagus.” Setelah beliau berkata seperti itu, mereka lalu tidak mengawinkan kurma lagi, namun kurmanya justru menjadi jelek. Ketika melihat hasilnya seperti itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
مَا لِنَخْلِكُمْ
“Kenapa kurma itu bisa jadi jelek seperti ini?” Kata mereka, “Wahai Rasulullah, Engkau telah berkata kepada kita begini dan begitu…” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” (HR. Muslim, no. 2363)
Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lebih tahu tentang ilmu pengobatan.
عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: مَرِضْتُ مَرَضًا أَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ ثَدْيَيَّ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَهَا عَلَى فُؤَادِي فَقَالَ: «إِنَّكَ رَجُلٌ مَفْئُودٌ، ائْتِ الْحَارِثَ بْنَ كَلَدَةَ أَخَا ثَقِيفٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ يَتَطَبَّبُ فَلْيَأْخُذْ سَبْعَ تَمَرَاتٍ مِنْ عَجْوَةِ الْمَدِينَةِ فَلْيَجَأْهُنَّ بِنَوَاهُنَّ ثُمَّ لِيَلُدَّكَ بِهِنَّ
“Dari sahabat Sa’ad mengisahkan, pada suatu hari aku menderita sakit, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku, beliau meletakkan tangannya di tengah dadaku, sampai-sampai jantungku merasakan sejuknya tangan beliau. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Engkau menderita penyakit jantung. Temuilah Al-Harits bin Kaladah dari Bani Tsaqif, karena sesungguhnya dia adalah seorang tabib (dokter). Dan hendaknya dia (Al-Harits bin Kaladah) mengambil tujuh buah kurma ‘ajwah, kemudian ditumbuk beserta biji-bijinya, kemudian meminumkanmu dengannya.” (HR. Abu Daud, no. 3875. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if)
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui ramuan obat apa yang sebaiknya diminum. Akan tetapi beliau meminta sahabat Sa’ad radhiyallahu ‘anhu agar membawanya ke Al-Harits bin Kaladah karena ia adalah seorang dokter kala itu. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengetahui ramuan obat secara umum saja. Adapun Al-Harits bin Kaladah, sebagai seorang dokter, ia mengetahui lebih detail komposisi, cara meracik, kombinasi dan indikasinya.
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lebih tahu dibandingkan para sahabatnya tentang ilmu dunia.
Andai saja, kalau yang dimaksud dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang keutamaan ilmu dan pahala bagi para penuntut ilmu adalah ilmu dunia, lalu bagaimana mungkinRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjadi yang terdepan dalam hal ini? Dan justru kalah dari para shahabatnya?
* Diambil dari buku “Mahasantri” karya M. Abduh Tuasikal dan M. Saifudin Hakim, yang sebentar lagi akan diterbitkan oleh Pustaka Muslim.
—
@ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 7 Jumadats Tsaniyah 1437 H
Oleh Al-Faqir Ila Maghfirati Rabbihi: Muhammad Abduh Tuasikal
Rumaysho.Com, Channel Telegram @RumayshoCom, @DarushSholihin, @UntaianNasihat, @RemajaIslam